Jokowi-Prabowo Tokoh Terpopuler 2014, Akhir Manis Pesta Demokrasi ( Suara Pembaruan, Jumat, 2 Januari 2015)
Jokowi-Prabowo Tokoh Terpopuler 2014
Akhir Manis Pesta Demokrasi
[JAKARTA] Tahun politik 2014 telah menempatkan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto sebagai tokoh terpopuler. Sebagai capres, keduanya menyedot perhatian publik secara luas. Meski menampilkan kompetisi yang panas, yang sempat diwarnai kampanye hitam (black campaign), kedua tokoh itu mampu mewariskan akhir yang manis di penghujung kontestasi.
“Di tengah panasnya kontestasi politik kedua tokoh tersebut, pada akhirnya Jokowi dan Prabowo mampu memperlihatkan diri sebagai sosok negarawan menjelang pelantikan presiden. Dari peristiwa itu, keduanya mewariskan pembelajaran yang sangat penting dalam berdemokrasi,” ujar politisi Partai Gerindra, Fary Djemi Francis, di Jakarta, Jumat (2/1).
Menurutnya, pilpres yang hanya diikuti Jokowi dan Prabowo, memaksa public untuk memusatkan perhatiannya pada keduanya. Selain mencermati visi dan misi, masyarakat juga disuguhi berbagai manuver serta gaya kampanye dan komunikasi politik yang menonjolkan sisi kelebihan masing-masing. Sayangnya, di tengah kontestasi politik tersebut, masyarakat juga disuguhi kampanye hitam yang sangat tidak simpatik.
Meski demikian, lanjut Fary, Jokowi dan Prabowo menghadirkan akhir yang manis kepada rakyat dan mewariskan sebuah sikap negarawan yang seharusnya dimiliki semua tokoh politik. “Salah satu ukurannya adalah bahwa kedua tokoh ini berkompetisi dalam pilpres, saling berargumentasi namun ending keduanya memberikan pembelajaran contoh bagi elite politik di negeri ini” ujarnya.
Akhir manis dimaksud adalah kesediaan Prabowo menerima Jokowi sebelum pelantikan, dan kehadiran Prabowo saat Jokowi dilantik sebagai presiden. Dia membandingkan, proses pergantian pimpinan nasional selama ini tidak pernah harmonis. Pertarungan Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri saat pilpres tahun 2004 dan 2009, berakhir tak harmonis, bahkan perseteruan keduanya terus berlanjut.
“Hampir semua pertarungan capres berakhir dengan tidak baik. Namun Prabowo dan Jokowi tidak seperti itu. Walaupun Prabowo kalah namun dia legowo hadir saat pelantikan,” ujarnya.
Antitesis Politisi-Birokrat
Sementara itu, pakar politik dari Universitas Nasional Ansy Lema tak menampik jika Jokowi menjadi salah satu tokoh terpopuler sepanjang 2015. Menurutnya, Jokowi merupakan antitesis politisibirokrat kebanyakan di Indonesia. Hal ini, membuat mantan wali kota Solo dan mantan gubernur DKI Jakarta ini menjadi “magnet” yang mampu menarik simpati dan melipatgandakan dukungan pemilih.
“Jokowi adalah model politisi langka. Gaya politik Jokowi tak lazim, dan sangat bertolak belakang dengan sepak terjang politisi dan perilaku pejabat publik yang jamak disaksikan masyarakat,” ujarnya.
Ada beberapa indicator yang menunjukkan bahwa Jokowi sebagai antitesis politisi-birokrat kebanyakan. Pertama, meskipun sudah menjadi presiden, Jokowi masih menampilkan sosoknya sebagai orang biasa, bukan “orang besar”. Hal itu menegaskan, Jokowi lebih suka menjadi pelayan publik, ketimbang pejabat yang mesti dilayani.
“Hal ini jelas berbeda dengan perilaku yang sering ditunjukkan banyak politisi yang mengidap mentalitas tuan, gemar diperlakukan sebagai penguasa yang mesti dihormati, dilayani, bahkan ditakuti,” tegasnya.
Kedua, lanjut Ansy ketika berkomunikasi dan berinteraksi dengan aneka lapisan warga dari pelbagai latar belakang, termasuk masyarakat miskin, Jokowi tidak pernah menampilkan sosoknya sebagai orang asing yang berjarak dengan rakyat. Sementara di sisi lain, mayoritas politisi dan pejabat justru menjadi sangat asing ketika bertemu warga miskin. Pejabat adalah tuan, rakyat adalah hamba.
“Ketiga, sebagai pemimpin, kata dan laku Jokowi sejalan,” sambungnya. Meskipun Jokowi memiliki kelebihan sehingga dapat menarik simpati mayoritas rakyat Indonesia, namun di awal pemerintahannya, Jokowi menunjukkan kelemahannya. Menurut Ansy, kelemahan yang tampak adalah ketidakkonsistenan Jokowi dalam menyusun cabinet dan mengisi jabatanjabatan strategis di pemerintahan.
“Awalnya Jokowi menyatakan akan membentuk kabinet tanpa syarat atas dasar koalisi tanpa syarat. Namun, ada kesan penyusunan kabinet kerja sarat dengan syarat. Jokowi tampaknya tersandera oleh kepentingan partai, koalisi, para jenderal dan pengusaha yang ada di sekelilingnya,” tandas Ansy.
Pandangan senada disampaikan pengamat hukum dan politik Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Theofransus Litaay. “”Yang menjadi daya tarik Jokowi adalah pada gaya kepemimpinan yang mampu menjawab masalah secara cepat dan efektif. Kerendahan hati dan sikap apa adanya menjadi daya tarik bagi para pemilih. Dua hal tersebut membuatnya didukung oleh banyak orang yang bersedia menjadi relawan untuk mendukung pencalonannya,” ujarnya.
Tim sukses Jokowi juga memahami bahwa suara kaum muda sangat besar dan mewakili kelompok pemilih yang realistik dan yang melek informasi. Oleh karena itu kampanye relawan online dan media sosial menjadi sangat penting dan sangat efektif. Hal itu yang membuatnya sangat populer di kalangan pemilih.
Pengamat politik dari Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Kota Malang Suko Wijono menilai, popularitas Jokowi karena kesan kuat sebagai pemimpin yang merakyat, sederhana, jujur, dan pekerja keras.
“Dia bukan sosok pemimpin yang hanya bisa memerintah para menteri sebagai pembantunya, namun justru mempelopori untuk langsung turun ke bawah dan blusukan di tengah-tengah masyarakat yang memang membutuhkan kehadirannya dengan beragam harapan, utamanya memperoleh solusi yang cepat dan tepat atas situasi dan kondisi yang sedang membelit rakyat setempat,” jelasnya.
Sementara itu untuk sosok Prabowo Subianto, dinilai memiliki gaya orasi yang memberikan gambaran sebagai pemimpin yang tegas dan berwibawa. Hal itu karena sosok mantan Danjen Koppasus tersebut memang dididik dalam pendidikan kemiliteran yang memang dipersiapkan sebagai komandan yang memiliki kemampuan memotivasi anak buah atau pasukan yang dipimpinnya.
“Hanya saja, di mata masyarakat sipil, penampilannya dengan gaya yang meledakledak penuh semangat itu, belum bisa meyakinkan bahwa ia akan mampu memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil,” ujarnya.
Meski demikian, hal itu tak membuat popularitasnya merosot. Bahkan menjelang pilpres, popularitas Prabowo melesat, dan kalah tidak lebih dari 10% dari Jokowi. [H-14/YUS/ARS/142]
Diambil dari sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 2 Januari 2015