Jangan Seret TNI ke Konflik Polri-KPK ( Suara Pembaruan, Sabtu-Minggu, 14-15 Februari 2015)
Jangan Seret TNI ke Konflik Polri-KPK
[JAKARTA] Di tengah situasi politik dalam negeri yang mamanas, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 2/2015 yang mengatur pelibatan TNI dalam konflik sosial, 2 Februari lalu.
Kekhawatiran akan adanya upaya menarik TNI ke persoalan politik muncul manakala sejumlah pihak mengandalkan TNI untuk menangani kamtibmas. Pada konflik KPK-Polri, pihak KPK meminta TNI ikut menjaga gedung KPK karena kekhawatiran akan penggeledahan oleh aparat kepolisian. Sejumlah kalangan pun menginginkan pelibatan TNI ketika ada kabar tentang adanya teror terhadap staf dan pegawai KPK.
Pelibatan unsur TNI sebagaimana yang diminta KPK baru-baru ini langsung ke Panglima TNI, seharusnya tidak perlu terjadi. “Jangan sampai TNI yang kini sudah bagus dan profesional malah dengan sengaja diseret-seret, apalagi kemudian dibenturkan dengan Polri,” ujar pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Prof Suko Wijono, Sabtu (14/2).
Suko menilai, pelibatan unsur TNI pada bidang Kamtibmas harus tetap hanya bersifat membantu, manakala Polri memang membutuhkannya. Berkait dengan apa yang dikhawatirkan unsur pimpinan KPK, kata Suko, cukup dilaporkan secara resmi ke Polri, dalam hal ini ke Polda Metro Jaya, bukan langsung ke Presiden, apalagi ke Panglima TNI.
“Makanya lapor ke Presiden dan Panglima itu tak salah kalau ada yang bilang KPK genit,” kata Rektor Universitas Wisnuwardhana Malang itu.
Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Taufik Kurniawan, meminta agar PP Penanganan Konflik Sosial tak dimanipulasi pihak tertentu demi menyeret-nyeret prajurit TNI dan Polri ke dalam konflik baru.
“Jangan ada memanfaatkan aturan ini untuk meyeretnyeret TNI-Polri kita,” kata Taufik.
Dia menilai bahwa sebenarnya sudah ada batasan kerja TNI dan Polri yang diatur sesuai UU yang menaungi masing-masing lembaga itu. Secara mudah, publik memahami bahwa TNI bertugas menjaga pertahanan Negara dari serangan luar, sementara Kepolisian menangani soal keamanan dalam negeri.
Dalam konteks UU, pelibatan TNI dalam penanganan konflik di dalam negeri bisa dibenarkan. Namun, harus ditegaskan bersifat bantuan apabila ada insiden tertentu. “Sifat back up TNI itu harus ditekankan insidentil, hanya untuk hal urgent saja,” imbuhnya.
Dikeluarkannya PP di tengah-tengah panasnya konflik Polri-KPK, diakui Taufik, memang perlu dijelaskan oleh pemerintah. Apalagi, TNI sempat berusaha diajak oleh individu KPK untuk ‘melawan’ Polri.
“Tentu Pemerintah harus menjelaskan soal ini. DPR bukan apriori. Tapi dalam situasi sensitif sekarang ini, kami kira pemerintah harus bisa menjelaskan supaya tak ada kecurigaannya,” kata Taufik.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboebakar Al-Habsyi, menilai dikeluarkannya PP di tengah konflik KPK dan Polri memang cukup mengundang pertanyaan. “Jangan sampai ada kisruh antara TNI dan Polri. Konflik sosial jangan berkembang karena pelibatan dua institusi ini,” kata Aboebakar.
Dia juga mengkritik gerak lambat Presiden Joko Widodo yang dianggapnya membiarkan masalah berlarut- larut sehingga membesar menjadi sebuah konflik. Mengambil contoh kisruh KPK-Polri, yang dipicu keputusan KPK menjadikan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, menurut Aboebakar, tak akan berkembang ketika diselesaikan sejak awal.
“Makanya kalau ada masalah diselesaikan sejak awal. Jangan sampai berkembang menjadi konflik, sehingga ada pintu masuk bagi pihakpihak tak bertanggung jawab,” kata Aboebakar.
Pengacara calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, Razman Arif Nasution, juga tak setuju pelibatan TNI. Ia mengeklaim kliennya juga merasa diteror. “Saya mengalami sendiri diteror. Pak BG (Budi Gunawan) juga diteror tapi tidak kita ekspos keluar karena kita beranggapan ada pihak kepolisian yang bisa diminta bantuan hukum,” kata Razman di gedung KPK Jakarta, Jumat.
Hal itu Razman sampaikan menyusul pernyataan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengenai ancaman yang sangat serius terhadap penyidik, pejabat structural dan keluarga mereka yang bersifat serius, sistematis dan eskalatif.
“Pak BG begitu dapat terror langsung ganti nomor telepon. Beliau anggap itu tidak penting. Beliau bilang masalah teror-meneror ini diberitahukan ke pihak berwajib kalau merasa tak aman,” ungkap Razman.
Ia berpesan agar bila ada teror dapat menyampaikan ke pihak berwajib meski BG sendiri tidak melapor ke Bareskrim. Razman juga meminta agar Tentara Nasional Indonesia tidak dilibatkan dalam kasus ini. “Kebetulan KPK dulu mau minta bantuan TNI, ini pikiran macam-macam. Jadi kami minta TNI jangan dilibatkan. Mereka bukan instruksi hukum, tapi di bidang keamanan, ujar Razman.
Dekat TNI
Pengamat politik dari CSIS Arya Fernandez mengatakan, keluarnya PP tersebut sebagai bukti bahwa presiden mulai mempercayakan penanganan konflik social strategis kepada TNI. Dalam beberapa kesempatan juga Jokowi menunjukkan kepada publik bahwa dia dekat dengan TNI.
“Jokowi sadar bahwa militer salah satu kelompok penting dalam politik Indonesia. Jokowi harus menjaga hubungan baik dengan militer,” ujar Arya, Sabtu (14/2).
Jokowi, kata Arya, menyadari bahwa TNI masih menjadi salah satu institusi penting dalam perpolitikan Indonesia. Tak bisa dimungkiri, tingkat kepercayaan publik kepada institusi TNI jauh lebih tinggi disbanding Polri.
“Dengan alasan itulah Jokowi penting menjaga hubungan baik dengan militer yang tentu menjaga keamanan konflik sosial. Jokowi ingin menunjukkan dia memperhatikan prajurit TNI,” ucapnya.
Sementara itu Direktur Pukat UGM, Zainal Arifin Muchtar dan peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril mengatakan, permintaan KPK kepada TNI dalam hal pengamanan tidak perlu dipersoalkan. “Tidak ada unsur mengadu antardua kekuatan, saya kira karena KPK sudah sulit percaya dengan Polri,” kata Oce.
Pengamat militer Wawan Purwanto mengatakan, masalah kamtibnas yang bersentuhan langsung dengan masyarakat tetap harus di bawah koordinasi Polri. Pelibatan TNI dalam mem-backup Polri selama ini sudah berjalan dalam bentuk BKO untuk pengamanan daerah tertentu.
Hanya saja, kata Wawan, saat ini peran pelibatan itu diperkuat dalam PP. “Saya kira PP itu hanya penguatan saja. Kecuali undang-undang-nya dirubah baru kita khawatir (TNI kembali ke dwi fungsi ABRI). UU 32/2004 tenatng pemerintahan daerah juga sudah jelas mengatur hal itu,” ujar Wawan, Sabtu (14/2).
Munculnya kecurigaan kembalinya dwi fungsi ABRI seperti zaman Orde Baru menurut Wawan terlalu berlebihan. Kalau TNI keluar dari barak maka UU harus terlebih dulu direvisi dan hal itu dinilai sangat sulit. [Ant/152/ARS/H-14]
Diambil dari sumber: Suara Pembaruan, Sabtu-Minggu, 14-15 Februari 2015