Mega Tak Banyak Bicara Soal BG ( Suara Pembaruan, Rabu, 4 Februari 2015)
Mega Tak Banyak Bicara Soal BG
[JAKARTA] Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri tidak banyak bicara berkaitan dengan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan ketika bertemu dengan Presiden Joko Widodo bersama para elite parpol pendukung Jokowi, Selasa (3/2).
Sekjen Partai Nasdem, Patrice Rio Capella yang juga hadir dalam pertemuan tersebut memastikan Megawati sama sekali tak mendesak Jokowi agar melantik Budi Gunawan. “Saya saksi hidup. Saya pastikan Bu Mega tak ada desakdesak soal pelantikan BG sebagai Kapolri. Kita pun demikian,” kata Capella.
Hal itu kontras dengan pencitraan di media massa, bahwa seakan-akan Megawati yang menyetir Jokowi untuk mengajukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, dan bahkan memaksa agar BG dilantik dengan segera.
Patrice Rio Capella, menyatakan para elite Koalisi Indonesia Hebat (KIH) telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta, kemarin. Pertemuan itu membahas berbagai isu di tingkat nasional yang saat ini sedang hangat.
Semua ketua umum dari PDIP, PKB, Hanura, dan PPP, hadir di pertemuan itu. Capella sendiri mewakili Surya Paloh, Ketua Umum Nasdem yang tak bisa hadir.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon menyatakan pihaknya tidak secara asal mempercayai pernyataan Ketua Tim 9 Syafii Maarif yang mengklaim Jokowi memberi tahu bahwa Budi Gunawan tak bakal dilantik sebagai Kapolri.
“Kita tunggu keputusan formal dari presiden, bukan rumor. Keputusannya harus dari Presiden sendiri. Kita belum tahu aslinya bagaimana karena belum ada keterangan resmi,” kata Fadli Zon, di Jakarta, Rabu (4/2).
“Saat bertemu presiden sih, beliau janji akan menentukan secepatnya.”
Fadli melanjutkan, DPR sangat memahami dan akan menghargai apapun keputusan Presiden Jokowi terkait calon kapolri. Sebab hal itu adalah hak prerogative presiden.
“Kan yang mengusulkan Pak BG sebagai calon kapolri kan presiden. Kalau jadi dilantik itu hak presiden, kalaupun direvisi, ya hak presiden juga,” tandas Fadli.
Menurut Capella, pertemuan elite partai pendukung dengan Presiden berlangsung lancar dan berada di dalam situasi yang hangat. Salah satu isu yang paling banyak dibicarakan adalah terkait isu perpanjangan PT Freeport, di mana Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri banyak menyampaikan masukan ke Presiden.
Akhiri Gesekan
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Prof Dr H Suko Wijono SH MH mengatakan, sebaiknya Presiden Jokowi dalam mengambil kebijakan guna mengakhiri terjadinya gesekan berkepanjangan antara KPK dan POLRI, maka proses hukum yang dialami pimpinan KPK dan calon Kapolri Komjen Pol Dr Budi Gunawan, harus tetap berjalan sesuai koridor hukum. Lebih dari itu proses tersebut harus tetap mengedepankan obyektivitas, transparan dan semua pihak ikut mengawasi.
“Presiden Jokowi sebaiknya mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) guna mengangkat sejumlah pimpinan KPK sementara, yang bertugas hingga periodesasi mereka yang sekarang ini berstatus tersangka, berakhir dengan memiliki kekuatan hukum tetap. Demikian pula dengan yang menimpa calon Kapolri,” ujar Prof Suko Wijono yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Kota Malang, Rabu (4/2).
Perppu itu sendiri sudah diatur secara jelas dan tegas oleh peraturan perundang-undangan dan merupakan satu-satunya hak istimewa yang hanya dimiliki oleh seorang Presiden. Untuk langkah selanjutnya, menurut Prof Suko Wijono, Presiden Jokowi bisa membentuk tim seleksi perekrutan pengganti mereka, baik atas anggota pimpinan KPK maupun Kapolri yang memiliki integritas dan kapabilitas memadai serta dijamin obyektivitasnya guna diajukan ke forum fit and proper test di DPR RI.
Sementara itu, jika semua komisioner KPK benar-benar dijadikan tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri, otomatis lembaga pemberantasan korupsi itu berada dalam situasi darurat dan Presiden Jokowi harus segera mengantisipasi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengisi kekosongan pimpinan komisioner.
“Kalau semua pimpinan KPKdinyatakan tersangka, otomatis para komisioner itu harus mengundurkan diri, dan saat itu juga presiden menerbitkan Perppu mengatasi situasi darurat KPK dengan menetapkan pelaksana tugas harian pimpinan KPK, sebab tidak boleh ada kekosongan pimpinan komisioner,” ujar La Ode Husen, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, Rabu (4/2).
Menurutnya, dasar hukum untuk menerbitkan Perppu itu adalah Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yakni, dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, presiden mengeluarkan Perppu.
Perppu yang diterbitkan itu nantinya mengatur tentang pergantian antarwaktu dan pengisian kekosongan jabatan pimpinan KPK, sejanjutnya, presiden mengeluarkan Kepres (keputusan presiden) untuk memberhentikan pimpinan KPK dan mengangkat pimpinan KPK dan ini berlaku untuk masa darurat sampai ada pemilihan KPK yang baru.
Mantan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) itu mengatakan, untuk mengatasi situasi darurat KPK, para pimpinan KPK yang dinyatakan sebagai tersangka boleh saja tidak serta-merta mundur, mereka memiliki hak mengajukan proses praperadilan untuk membuktikan sah atau tidaknya penetapannya sebagai tersangka.
Menanggapi tentang Komjen Pol Budi Gunawan yang ditetapkan KPK sebagai tersangka dan pelantikannya ditunda oleh presiden sambil menunggu keputusan praperadilan, hal itu bisa dibenarkan sebab dalam pasal 77 KUHAP telah mengatur hak setiap orang yang merasa dirugikan oleh tindakan penahanan, penangkapan, penyitaan dan atau tindakan hukum lainnya untuk menempuh praperadilan, jelasnya.
Menurutnya, lebih elegan jika Budi Gunawan mundur dari calon Kapolri, kemudian dilakukan proses seleksi ulang, atau presiden mengusulkan kembali nama-nama calon kepada DPR RI dari calon yang sudah diusulkan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Lawan
Budayawan Radar Panca Dahana menilai seluruh rakyat Indonesia harus melawan adanya upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kalau kita menganggap diri kita sebagai bagian dari rakyat, tentu saja secara logis, kita harus melawannya,” kata Radar kepada SP, Rabu (4/2).
Radar menjelaskan KPK didirikan dengan sebuah niat baik untuk memperbaiki kondisi Negara yang korup. Tak hanya itu, pembentukan KPK juga untuk menjawab dua institusi penegak hukum, yaitu Polri dan Kejaksaan yang tidak mampu tegas dalam menangani kasus korupsi.
Kehadiran KPK, kata Radar selain ditunjang oleh Undang- Undang, juga mendapatkan dukungan penuh dari seluruh masyarakat Indonesia.
Maka, apabila ada pihak-pihak yang secara sengaja ingin menghentikan kerja KPK dalam memberantas korupsi, maka harus dilakukan perlawanan.
“(Pelemahan KPK) bisa dipastikan hal itu dilakukan oleh negative dari niat baik, yakni niat buruk atau jahat. Siapa pun itu. Entah itu kaum resisten, kriminal, elit tertentu, termasuk penegak hukum sendiri. Dan semua yg tergabung dalam niat jahat itu dgn sendirinya telah menjadi musuh masyarakat,” pungkas Radar. [ARS/MJS/RIZ/148/155]
Diambil dari sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 4 Februari 2015