Home / KARYA KITA / PRESIDEN BAKAL KELUARKAN PERPPU KPK ( Suara Pembaruan, Jumat, 6 Februari 2015)

PRESIDEN BAKAL KELUARKAN PERPPU KPK ( Suara Pembaruan, Jumat, 6 Februari 2015)

PRESIDEN BAKAL KELUARKAN PERPPU KPK

 

[JAKARTA] Sinyal bahwa Presiden Jokowi bakal menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menggantikan UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), menguat. Menurut Menkumham Yasonna Laoly, bila ketua KPK Abraham Samad menjadi tersangka, pemerintah akan menerbitkan perppu terkait pimpinan KPK. Sampai saat ini Mabes Polri belum menetapkan status tersangka terhadap Abraham Samad.

Penerbitan perppu, kata Yasonna di Jakarta, Kamis (5/2), agar KPK secara institusi tidak lumpuh. Penunjukan pelaksana tugas (plt) menjadi opsi yang paling memungkinkan apabila semua pimpinan KPK menjadi tersangka.

Saat ditanya mengenai wacana mempercepat seleksi, Yasonna menyatakan,”Waktunya akan cukup panjang. Yang paling cepat untuk menjaga KPK adalah perppu. Sudah ada yurisprudensinya pada zaman Bibit-Chandra.”

Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan pemerintah belum memutuskan untuk mengeluarkan perppu tentang penunjukan langsung pimpinan KPK, jika semua pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka . Pihaknya masih menunggu surat formal tentang penetapan tersangka para pimpinan KPK.

“Kami kan menunggu surat formal. Kalau dasarnya adalah pemberitaan di media kan belum bisa dibuat dasar pengeluaran perppu,” katanya.

 

Dukungan Publik

Sementara itu, pengamat politik dari CSIS Arya Fernandez mengatakan dukungan publik akan terus meningkat ke KPK bila semua pimpinan KPK, termasuk Abraham Samad, ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri. Hal itu terjadi karena publik akan mempersepsikan KPK tengah mendapatkan cobaan yang besar.

Menurutnya, apabila dua pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka, dipastikan akan mengganggu proses penyidikan kasuskasus korupsi yang menjadi sorotan publik.

“Penyelidikan atas kasus korupsi besar dipastikan akan terganggu bila dua pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka. Lembaga KPK dipastikan akan lumpuh,” katanya kepada SP di Jakarta, Jumat (6/2).

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, menyatakan penetapan tersangka pimpinan KPK sudah diprediksi sebelumnya. Untuk menjaga agar pimpinan KPK tidak lowong, presiden harus segera mengeluarkan keppres untuk mengisi kursi pimpinan KPK yang kosong.

“Ini bagian dari situasi politik yang diciptakan Abraham Samad dan Jokowi. Kasus-kasus KPK lebih baik diteruskan pimpinan KPK berikutnya. Tujuannya tak lain agar ada pembelajaran serius bagi DPR dan presiden,” katanya.

Dikatakan, tanpa pimpinan, KPK pasti akan lumpuh. Namun, para pimpinannya bisa segera diganti atau “ditambal” sementara dengan penerbitan keppres. Presiden dapat mencari pimpinan sementara KPK sebagai pengganti. Setelah itu pada Desember nanti bisa dilakukan pergantian pimpinan KPK secara definitif.

“Dengan demikian kalaupun KPK lumpuh, maka akan segera pulih dengan pimpinan yang baru. Penanganan kasus korupsi kakap bakal sedikit tersendat, namun akan kembali berlanjut. KPK masih akan tetap bekerja karena sistemnya telah terbangun dengan bagus,” katanya.

Hal itu, kata Muradi, berbeda dengan tugas-tugas Polri yang langsung menangani masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Polri harus berhadap-hadapan dengan para penjahat jalanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Bila Polri sampai lumpuh,kejahatan jalanan merajalela. Jakarta yang oleh The Economist disebut sebagai kota besar yang paling tak aman akan semakin terpuruk.

“Ketika ada serangan kepada KPK, maka semua membela. Rakyat tak ingin KPK diganggu-gugat atau disakiti. Namun dukungan itu jangan kemudian melegitimasi bahwa pimpinan KPK semua suci,” tegasnya.

Di tempat terpisah, guru besar hukum tata Negara dan hukum administrasi negara, Prof Dr H Suko Wijono MH berpendapat guna mengatasi perseteruan antara unsur pimpinan KPK dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Presiden Jokowi harus sesegara mungkin menerbitkan perppu.

“Jika nantinya sebagian besar unsur pimpinan KPK menjadi tersangka, maka sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002, maka secara otomatis mereka harus diberhentikan. Untuk menangani ratusan kasus dugaan korupsi yang masih harus diselesaikan KPK, maka presiden cukup menerbitkan perppu menunjuk sejumlah orang yang memiliki kapabilitas dan kapasitas yang memadai untuk menempati sementara posisi pimpinan di KPK,” ujarnya.

Rektor Universitas Wisnuwardhana (Unida) Kota Malang itu menyatakan jika Presiden Jokowi terlalu lama mengambil keputusan, maka jangan disalahkan jika kemudian banyak pihak berspekulasi bahwa perseteruan orang per orang di KPK dengan orang per orang di jajaran pucuk pimpinan Polri akan merembet ke institusi atau kelembagaan. “Kita sudah menerima banyak masukan dari para kapolres bahwa perseteruan di tingkat elite di KPK dan Polri itu berpengaruh pada kondisi psikologis pimpinan Polri di daerah,” katanya.

Melalui penerbitan perppu itu, lanjut Suko, presiden bisa menunjuk pejabat pelaksana tugas (plt) KPK, sehingga proses penanganan kasus-kasus korupsi yang sedang berjalan tidak terganggu. Jika tidak, maka ada saja kelompok tertentu yang menuding pemerintah sengaja menciptakan situasi dan kondisi yang melemahkan KPK.

“Jangan sampai KPK beralasan tidak bisa melanjutkan tugas-tugas pemberantasan korupsi karena unsur pimpinan mereka kosong. Unsur pimpinan KPK (yang telah ditetapkan sebagai tersangka, Red) memang wajib mundur walaupun sementara, demi melaksanakan undang-undang,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Suko juga menyatakan Presiden Jokowi tidak perlu ragu-ragu mengganti Komjen Pol Budi Gunawan yang berstatus tersangka dengan figur lain yang relative bersih. “Tidak mungkin terjadi impeachment dari DPR jika presiden mengganti nama calon kapolri baru ke DPR, kendati calon yang lama sudah lolos fit and proper test,” katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil mendukung Sikap KPK yang akan mengembalikan mandatnya ke Presiden Joko Widodo apabila tiga komisioner KPK yang tersisa dijadikan tersangka oleh Mabes Polri

Namun, ia mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi harus tetap berjalan di mana Presiden wajib menindaklanjutinya dengan menyerahkan penanganan perkara korupsi ke Kejaksaan Agung.

“Setuju diserahkan ke presiden. KPK lumpuh tapi pemberantasan korupsi tidak boleh lumpuh. Presiden dapat menugaskan Kejaksaan Agung untuk mengambil alih dan menangani kasus-kasus korupsi yang selama ini ditangani oleh KPK,” tegas Nasir di Jakarta, Kamis (5/2).

Kalau para petinggi di KPK itu serius dengan ancamannya dan situasinya benar-benar terjadi, Nasir menilai hal itu adalah tantangan bagi Kejaksaan untuk membuktikan kinerjanya kepada publik. Yakni bahwa Kejaksan dapat dipercaya untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang bernilai besar dan strategis.

“Jadi presiden sendiri yang memimpin pemberantasan korupsi. Sembari itu presiden segera membentuk pansel capim KPK lebih cepat,” tandasnya.

Sebelumnya, petinggi KPK mengancam akan mengembalikan mandatnya ke Presiden Joko Widodo apabila tiga komisioner KPK yang tersisa dijadikan tersangka oleh Mabes Polri. Sebab jika seluruh pimpinan ditersangkakan, otomatis mereka harus nonaktif yang mengakibatkan lumpuhnya KPK secara kelembagaan.

“Kalau lembaga ini tak bisa lagi beroperasi karena tersangka dan dinonaktifkan semua, maka pilihannya adalah mengembalikan mandat ini kepada presiden. Apa gunanya kalau kita (KPK) enggak bisa melakukan apa-apa sementara presiden yang kita hormati bersama, enggak melakukan apa-apa,” kata Deputi Pencegahan KPK Johan Budi, di Jakarta, Kamis  (5/2).

 

Pengawas KPK

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mendesak untuk membentuk Dewan Pengawas terhadap KPK. Dewan pengawas itu bertugas mengawasi dan memonitor perilaku pimpinan KPK dan para karyawan

KPK. “KPK harus mempunyai Dewan Pengawas yang selalu memonitor pelaksanaan tugas mereka. Keb e r a d a an Dewan Pengawas bisa mengantisipasi tindakan-tindakan para komisioner yang bisa merusak integritas KPK,” kata peneliti dari Formappi Lusius Karus di Jakarta, Kamis (5/2).

Ia menjelaskan adanya berbagai laporan dan tuduhan terhadap pimpinan KPK seperti sekarang ini, harus menjadi pelajaran berharga agar perilaku pimpinan KPK ada yang mengawasinya. Jika dibiarkan seperti sekarang, akan lahir lagi perilaku menyimpang dari pimpinan KPK di masa depan. Yang rugi adalah KPK sebagai institusi karena hilang kepercayaan dari publik.

Lusius juga mendesak agar segera membentuk Dewan Etik untuk memastikan etika komisioner dan staf KPK selalu terjaga baik. [R-14/MJS/ARS/Ant/H-14]

 

Diambil dari sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 6 Februari 2015

Loading