Home / Berita / Seminar Nasional Kebangsaan: HOAX: POLA DAN TABIAT MACAM APA?

Seminar Nasional Kebangsaan: HOAX: POLA DAN TABIAT MACAM APA?

Unidha-Malang. Pada Acara Seminar Nasional Kebangsaan di Aula Bank Jatim, Surabaya (07/02/2017) menyajikan tema utama tentang “Hoax Dan Dunia Pendidikan”.Kegiatan ini diselenggaran oleh APTISI wilayah VII Jatim bekerjasama dengan Pemprov Jatim menghadirkan dua pembicara utama yakni  Yudi Latief, Ph.D dengan tema  materi “Hoax Sebagai Ekspresi Dekadensi Nalar Etis dan Nalar Ilmiah” dan Effendi Gazzali, Ph. D, MPS, ID dengan tema materi “Hoax, (Tanpa) Titik Balik Komunikasi Politik”.

Tema ini sangat menarik sekali karena dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan menjadi fenomena yang tidak lazim lagi di kalangan masyarakat. “Indonesia adalah negara keempat tertinggi di Dunia dalam hal penggunaan internet dan media sosial” menurut penuturan Pria yang akrab dipanggil Gus Ipul (Syaifullah Yusuf ) dalam kesempatan membuka acara seminar ini.

Kabar atau rumor kebohong yang media massa mainstream menyebutnya sebagai hoax, menurut seorang sejarawan dari FIB UI, Andhi Achdian meyebutkan bahwa hoax merupakan kata yang muncul dalam perbendaharaan bahasa Inggris sejak 1808 (menurut kamus dasyhat Merriem Webster versi online) yang berarti: 1) sebuah perbuatan yang bertujuan mengelabui atau membohongi dan 2) menjadikan sesuatu sebagai kebenaran umum melalui fabrikasi dan kebohongan yang disengaja. Dalam tulisannya juga ia memaparkan bahwa hoax bukanlah hal yang baru lagi. Hoax memiliki pola dan bahkan negara juga memiliki peran dalam penyebaran berita hoax.

Merebaknya berita hoax mencerminkan suatu yang lebih sinister ketimbang hanya sekedar berita kebohongan. Menurut Yudi Latief, hoax sebagai ekspresi dekadensi nalar-etis dan nalar-ilmiah dalam masyarakat. Ia menjelaskan, industri hoax berkembang pesat dalam konteks masyarakat dengan minat baca nomor dua terendah setelah Boswana di dunia ini, tapi penggunaan media sosialnya nomor empat di dunia.

Pengguna media sosial dapat dikatakan sebagai pseudo-literacy. Meskipun aktivitasnya memerlukan kemampuan baca tulis, tapi hakikat penggunaannya merupakan perpanjangan dari tradisi kelisanan, yang tidak begitu memerlukan presisi dan nalar ilmiah yang ketat.Effendi Gazalli menambahkan titik balik hoax itu kalau orang baik berkawan dengan orang baik, membentuk jaringan, dan tiada henti melawanya. Karena hoax dalam media baru, seperti berada di sutau titik tanpa titik balik. Sekarang semua merasa punya akses, semua bisa berkata-kata. Setiap orang seperti berhak menguliti orang atau obyek, kapan saja, tanpa batas waktu, keluar dari konteks, tak hirau Nalar-Etis, tak hirau Nalar Logis.

Seperti yang dialami oleh Presiden ke-6 RI Setelah kasus dokumen TPF Munir berlalu, SBY mengeluhkan berita hoax yang ditulis dalam twitternya. “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang? *SBY*”,” tulis SBY pada 19 Januari 2017.

Seminar Nasional Kebangsaan ini diharapkan dapat menggali langkah ke depan agar penggunaan internet untuk hal-hal yang produktif, kemajuan, dan kebersamaan. “Jika perlu sebagai tempat menggalang kekuatan membangun kebersamaan, saling percaya, dan mengembangkan budaya ilmiah,” Ujar Gus Ipul. (Pen-red)

IMG-20170207-WA0089

Loading