Home / KARYA KITA / Bukti Laporan tentang Abraham Samad Disebar, Masyarakat Harus Cerdas Sikapi Politisasi Adu Domba( Suara Pembaruan, Rabu, 28 Januari 2015)

Bukti Laporan tentang Abraham Samad Disebar, Masyarakat Harus Cerdas Sikapi Politisasi Adu Domba( Suara Pembaruan, Rabu, 28 Januari 2015)

Bukti Laporan tentang Abraham Samad Disebar

Masyarakat Harus Cerdas Sikapi Politisasi Adu Domba

 [MAKASSAR] Serangan yang bermotif kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut, setelah Bambang Widjojanto (BW) ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan memerintahkan kesaksian palsu, menyusul Adnan Pandu Praja, Abraham Samad, dan Zulkarnaen dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri.

Di Makassar, kota kelahiran Abraham Samad, simpati terus mengalir dari berbagai elemen setelah dia dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Muhammad Yusuf Sahide,SH tentang dugaan pelanggaran terhadap pasal 36 dan pasal 65 Undang-Undang Republik Indonesia No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Muhammad Yusuf Sahide, kelahiran Lamalaha, Nusa Tenggara Timur (NTT), 30 April 1981 beralamat di Jalan Talang No 39 RT 03/2 Kelurahan Pengangsan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, melaporkan Ketua KPK itu berdasarkan laporan Nomor LP/75/1/ 2015/Bareskrim tertanggal 22 Januari 2015.

Sahide memang bukan sosok yang populer, aktivis LSM yang disebut-sebut berasal dari satu almamater dengan Abraham di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, mendadak jadi incaran media setelah melaporkan Abraham.

Sahide tak hanya melaporkan Abraham namun bukti laporannya bernomor TBL/39/1/2015 Bareskrim tertanggal 22 Januari menyebar luas di media sosial dan kuat indikasi kalau ini sengaja dilakukan pelapor. Berkat laporannya itu, Sahide mendapat kecaman keras dari para simpatisan KPK di Makassar. Berbagai komentar pun bermunculan, menuding si pelapor sengaja menumpang momen untuk mencari popularitas di tengah konflik yang sedang menerpa KPK. Abraham Samad yang dihubungi SP, Selasa (27/1) malam, menanggapi dingin laporan Sahide, dia juga mengaku tak kenal dengan sosok pelapor. “Biasalah, ini risiko perjuangan, diserang, difitnah dan dikriminalisasi,” ujarnya.

 

Kriminalisasi

Di Surabaya, Jawa Timur, Pakar hukum tata negara (HTN) dan hukum administrasi negara (HAN), Prof Dr H Suko Wijono SH, MH mengatakan, istilah kriminalisasi itu dapat digunakan apabila aparat penegak hukum merekayasa sehingga seseorang yang tidak melakukan tindak pidana dibuat sedemikian rupa menjadi tersangka, terdakwa dan akhirnya bisa menjadi terpidana.

Ia mengatakan hal tersebut terkait perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. KPK menetapkan calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka. Kemudian seluruh pimpinan KPK dilaporkan ke polisi. “Tentang sejumlah pimpinan KPK yang menjadi tersangka kasus tindak pidana itu apakah kriminalisasi atau bukan, tentu akan dapat diketahui dari proses hukum di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Di pengadilan itulah, apakah alat bukti yang diajukan penyidik (melalui penuntut) itu terbukti valid atau sebaliknya,” tandas Prof. Suko Wijono yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana, Kota Malang itu.

Memang, katanya lagi, dengan beberapa orang pimpinan KPK yang dilaporkan para saksi pelapor sebagai tersangka pelaku tindak pidana, maka sedikit banyak tentu akan mengganggu efektivitas kinerja KPK dalam melaksanakan tugas pokok serta fungsi (tupoksi)-nya sebagai institusi pemberantasan korupsi.

Menurut Prof Suko Wijono yang juga guru besar HTN dan HAN sejumlah perguruan tinggi negeri di Kota Malang itu, bahwa merupakan konsekuensi logis pimpinan dari sebuah lembaga yang selama ini didewa- dewakan sebagai institusi superbody itu terkesan berisi orang-orang yang seolah-olah paling, jujur, bersih dari ‘dosa’ tindak pelanggaran hukum. “Sekali lagi, masyarakat jangan terbelah karena fenomena saling menuntut antara oknum- oknum pimpinan KPK dan Polri tersebut,” tandas Prof Suko Wijono.

Ia juga mengkritisi adanya pengerahan massa dari satupihak guna menekan pihak lain dalam perkara yang memanas tersebut, karena hal seperti itu sudah bukan jamannya lagi. “Masyarakat elite harus cerdas, sebab masyarakat luas juga sudah sangat cerdas menyikapi politisasi adu domba antarkedua pimpinan institusi penegak hukum itu. Sebagai manusia biasa, pasti semua orang memiliki kekhilafan dalam perjalanan hidup dan kariernya. Kita tidak boleh munafik,” tandas Prof Suko Wijono lagi. [ARS/148/L-9]

 

Diambil dari sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 28 Januari 2015

Loading