Home / Karya Ilmiah / Pembangunan Ekonomi Nasional, Regional dan Lokal Menuju Pengentasan Kemiskinan [Tinjauan Paradigmatik dan Metodologi]

Pembangunan Ekonomi Nasional, Regional dan Lokal Menuju Pengentasan Kemiskinan [Tinjauan Paradigmatik dan Metodologi]

Pembangunan Ekonomi Nasional, Regional dan Lokal Menuju Pengentasan Kemiskinan

[Tinjauan Paradigmatik dan Metodologi]

Disampaikan oleh :

WG0Y6575 - Copy (2)

Sonny LEKSONO, guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Wisnuwardhana Malang.

pada

Focus Group Discussion Penyusunan Tema Sidang Tahunan IDB 2016

KEMENTRIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN KEBIJAKAN FISKAL

PUSAT KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PERUBAHAN IKLIM DAN MULTILATERAL

Tanggal 27 Agustus 2015.

Pendahuluan

Dalam beberapa minggu terakhir ini kita gencar mendapat pemberitaan dari mass media electronic dan sosial media yang kemudian saya konfirmasikan kebenarannya pada beberapa sumber yang terpercaya bahwa memang benar dalam beberapa pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan oleh pemerintahan sekarang ini telah mengundang kontroversi.

Inti berita yang bernuansa alert tersebut adalah pendekatan model investasi “Turnkey Project Management”oleh Cina di Indonesia, yang sukses besar di Angola (yang kini menjadi tanah air kedua orang Cina), kini telah sedang dan akan terjadi di Indonesia dalam pembangunan infrastruktur di Purwakarta (jaringan listrik, top manajemen, pendanaan, material & mesin, tenaga ahli, metode dan tenaga kerja dropping dari Cina), di Manokwari Papua (Pabrik semen Maruni, distrik Manokwari Selatan, ratusan TK Cina yang bermasalah), di Bayah, Propinsi Banten (ratusan TK asing Cina yang sama sekali uneducated, buang air sembarang tempat, yang akan bermukim selamanya di Banten), Kalimantan Barat (pabrik gula), rencana nantinya di Medan (dengan 50.000 TK Asing Cina yang akan jadi penduduk tetap di Indonesia) serta rencana pembangunan 14 Bandar udara maupun 24 Pelabuhan laut serta rencana pembangunan jaringan rel Kereta Api ± 80.000 km. Juga di Lampung.

Dibaca dari sisi fiscal, adakah model ini format yang tepat dalam menyerap lapangan kerja ?.

Kiranya hal ini paralel dengan laporan ringkas Asian Development Bank (ADB) semester semester pertama 2015 yang menyatakan:

“….. saat ini pertumbuhan Indonesia masih berada di bawah potensinya. Hal ini adalah akibat dari rendahnya produktivitas modal dan tenaga kerja yang tumbuh lebih lambat dibandingkan negara-negara lain di kawasan ini, serta tingkat inovasi teknologi yang juga relatif rendah.”

Pembangunan infrastruktur oleh Cina yang konon kabarnya sekarang lagi dikoreksi ulang oleh pemerintah ini, tentulah jauh dari esensi kaidah Syariah Islam maupun syariah Pancasila. Kegiatan ekonomi yang menyangkut kebijakan fiscal itu seharusnya menjadi bagian integral dari masyarakat, proses interaksi berdasar pola dan makna sesuai dengan kelembagaan ekonomi di masyarakat, selaras dengan dinamika perubahan kelembagaan dan budaya kerja yang menjadi dasar kehidupan ekonomi masyarakat.

Bukankah amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 1 kepada pelaku ekonomi di Indonesia, Pemerintah, Kalangan Pengusaha maupun anggota masyarakat selama hampir 70 tahun ini, menyerukan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama yang berazaskan kekeluargaan”, bukan perekonomian sebagai usaha yang individualis liberalis. Pertumbuhan ekonomi bangsa, pembangunan ekonomi Indonesia pada praktek kenyataannya sejauh ini semakin dideterminasi ideologi kapitalistik liberal ekonomi Neo Klasik, yang diametral dengan konsep ekonomi kekeluargaan, musyawarah & mufakat; dalam bahasa politik disebut ekonomi kerakyatan yang islami.

Metodologi dan Paradigma Dasar

Bertitik tolak dari metodologi, maka pengembangan infrastruktur plus berbasis syariah akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara efektif dan efisien jika kebijakan yang diambil bermuatan aspirasi dan memiliki kedekatan dengan masyarakat sebagai “subject pembangunan”; pilihan itu hanya dapat ditempuh dengan paradigma non-positifistic, dengan metodologi dialogis dan dialektis.

Ditingkat operasional, Infrastructure Development & Financial Inclusion yang dibangun secara dialektis adalah mengembangkan modus interaksi dialogis antara lembaga pembiayaan, dengan kuasa pemegang anggaran dengan masyarakat pengguna adalah pilihan kebijakan yang conditio sine qua non (keharusan, mau tidak mau) yang mesti diambil. Daripadanya berlangsung proses hermeneutical [menjelaskan, menterjemahkan, mentafsirkan, interpretasi] dan pertukaran dialektikal ‘konstruksi’ pemahaman melalui penyandingan, pembandingan dan penandingan (= musyawarah, mufakat) yang menghasilkan road map &/ blue print. Dengan mekanisme destilasi atau penjernihan pemahaman ini diperoleh konsensus atau resultante konsep pemahaman aspirasi yang integrated, legitimated, holistic dan humanis (syar’i).

Ketika sebuah infrastruktur itu dibangun, dan yang pasti adalah untuk kemaslahatan masyarakat.

Secara ontology, sesungguhnya pemahaman siapa yang dimaksud masyarakat, apa itu wujud aspirasi masyarakat sebenarnya tidak dapat terjangkau oleh besaran besaran angka matematis dan statistik. Masyarakat tidak bisa dibaca sekedar sebagai sekumpulan orang banyak, masyarakat juga tidak tepat jika didefinisikan sebagai penduduk di sesuatu ruang wilayah tertentu.

Masyarakat dengan segala budi pekerti, budidayanya yang melekat itu wujudnya non sensous, sifatnya latent yang mesti dibaca dipahami terlebih dahulu secara tepat melalui berbagai indikator indikator yang manivest. Inclusivity yang original. genuine dan authentic itu muncul dari jalan pikiran, pengetahuan, pandangan, rasa, timbang rasa, kemauan, consciences, cita cita masyarakat; bukan di by-pass dengan simplifikasi yang menggunakan mindset pemerintah atau bahkan bukan pula atas asumsi yang dibangun kuasa pengguna anggaran maupun mindset pakar ekonomi[1]/.

Sebut saja jika kita menunjuk ulasan ADB dalam laporan ringkas 2015 tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia,

”Terdapat beberapa faktor yang menghambat pencapaian potensi pertumbuhan dan perkembangan sosio-ekonomi Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain: kerentanan di tingkat makro; kesenjangan yang kian meningkat; ekspor yang mengandalkan komoditas primer; pendapatan pemerintah yang rendah (terkait dengan korupsi dan kualitas pelayanan yang rendah); defisit infrastruktur; kurangnya tenaga kerja ahli; rendahnya alokasi anggaran untuk riset dan pengembangan; rendahnya tingkat kecukupan nutrisi dan kesehatan; pasar keuangan yang dangkal; peraturan yang terlalu banyak dalam usaha; hambatan bagi munculnya kompetisi yang sehat; sektor pertanian yang didominasi oleh padi; dan rendahnya penetrasi teknologi informasi dan komunikasi.”

Ketika kita memanfaatkan informasi laporan itu sebagai rujukan atas format konstruksi Infrastructure Development & Financial Inclusion, maka roadmap atau blueprintnya akan menjadi sebuah realitas yang benar benar jernih ketika itu muncul dari proses dialogis dan dialektis dengan subject pelaku ekonominya, dan menurut perspektif subject ekonomi.

Secara epistemology, Infrastructure Development & Financial Inclusion itu mesti menggunakan perspektif emic, atau cara pandang menurut ukuran masyarakat sebagai subject yang merasakan, actors yang mengalami, yang menderita, yang menghayati proses pembangunan yang menyentuh dirinya. Bukan cara pandang yang sejauh ini dalam konsep dan praktek ekonomi Neoklasik bersifat “ukur baju dibadan sendiri”, karena perspective para birokrat, regulator pembangunan dan operator pembangunan selalu merasa lebih piawai bila dibanding dengan masyarakat.

Ekonomi kelembagaan adalah pendekatan yang menganut perspektif “ukur baju dibadan masyarakat dalam kedudukannya sebagai human subject”. dirancang adanya kedekatan antara subject pembangunan [= masyarakat] dengan pemerintah [= human instrument], pemerintah sebagai agent of change tidak bersikap netral, tidak ada jarak dengan masyarakat; mau bertangggung jawab atas kemungkian terjadinya bias pembangunan, bilamana terdapat kegagalan tidak disikapi cuci tangan dengan menyalahkan masyarakat, dengan mengatakan “kami sebatas membantu pengadaan financial, sekedar membuat program, kami kan hanya memfasilitasi; sedangkan yang melaksanakan adalah masyarakat ”.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dalam FGD ini, bersediakah ilmuwan, ekonom, aparat pemerintah menangkap aspirasi masyarakat secara baik dan benar?; apakah inclusivity yang diformulasi menjadi investasi infrastruktur yang atas nama pembangunan, atas nama pengentasan kemiskinan itu objective, original, genuine, authentic ?.

Ini berarti secara axiology, pendekatan emic perspective tidak membolehkan para perancang pembangunan dan pelaksana pembangunan bebas nilai independen dengan masyarakat; walaupun secara prinsipiil nilai manfaat pembangunan adalah sepenuhnya harus dinikmati masyarakat. Pemerintah (pemerintah daerah) dengan tanggung jawab konstitusional dan moralnya tepat bilamana hanya sekedar bertindak sebagai sinterklass proyek, bagi bagi fiskal.

Kiranya persoalan kesiapan sisi fiskal, kesiapan kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah harus dibaca lebih tepat, harus dimaknai lebih akurat dengan memperbaiki metodologi dan merubah paradigma pembangunan; khususnya dalam konteks ini adalah dalam memanivestasikan Infrastructure Development & Financial Inclusion.

Sesungguhnya anasir anasir Infrastructure Development & Financial Inclusion itu bukan sekedar sesederhana sebagai fenomena yang wujudnya physicly, semacam belanja pendidikan dengan bangunan gedung sekolah, atau alokasi biaya kesehatan semacam Puskesmas, irigasi pedesaan, maupun belanja modal dll. Inherent didalamnya terkandung anasir anasir non physicly, non sensuous yang latent, intangible “yang banyak fihak acapkali lupa dan melupakannya” sebagai suprastruktur.

Wujud anasir anasir suprastruktur yang non physicly, non sensuous yang latent, intangible itu secara gradual terdiri atas; a/. logika berpikir masyarakat (muslim) sebagai subject development, b/. tata ethica [aturan, tertib, norma kebiasaan, kepatutan, adat budaya], serta c/. taraf transcendental (keyakinan yang syariah).

Sehingga ketika dikemudian hari terdapat evaluasi yang mempertanyakan kegagalan Infrastructure Development & Financial Inclusion (= inefectively, inefficiently). maka sesungguhnya beban –kesalahan & dosa – pertama dan utama adalah bukan terletak pada masyarakat, karena secara filosofis metodologi “pemerintah yang pertama tama terlibat, melibatkan dan bertanggung jawab secara emosional, moral dan secara konstitusional”.

Sebagaimana temuan penelitian Bambang Suprayitno, dkk (2004, 21) yang menggunakan data sekunder dari ringkasan APBD pemda seluruh Indonesia tahun 2012 yang disediakan oleh Kemenkeu Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah RI, dengan unit analisis perekonomian level provinsi seluruh Indonesia, atas temuan seputar kebijakan distribusi fiskal pemerintah, dinyatakan bahwa;

“banyaknya pengeluaran pemerintah yang dilakukan tidak efektif mendorong pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah dalam rangka Human Capital Investment tidak produktif meningkatkan PDRB perkapita labor sebagaimana pengeluaran pemerintah secara total”.

Persoalan ikutannya, boleh jadi pertumbuhan ekonomi termaksud juga tidak dapat menjangkau sampai pada terwujudnya pembangunan ekonomi (pemerataan pendapatan, penciptaan lapangan kerja yang meluas dan semacamnya). Bisa saja temuan itu diartikan bahwa distribusi fiscalnya tidak menghasilkan multiplier effect.

Kebijakan distribusi fiskal pemerintah, pembangunan infrastruktur mesti dilandasi oleh paradigma pembangunan yang benar; diselaraskan, disinergikan, dengan pembangunan suprastruktur, pilihannya adalah melalui pendekatan kelembagaan, menganut paradigma non-positivistic dan metode dialektis.

Memang kebijakan fiscal membangun infrastruktur cepat adalah penting untuk tujuan mendapatkan momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja; namun tidak tepat pula bilamana tergesa gesa serta didasari oleh ego scenario, simpifikasi penuh dengan asumsi yang dibuat diatas meja, bukan muncul dari realitas lapang, utamanya berorientasi pada manusia yang diposisikan sebagai subject pembangunan.

Subject fiskal yang sosoknya disebut sebagai “human atau society” ini dengan perspektif emic ya mesti terlebih dulu dipahami benar, paham benar dan sepakat benar serta berkepentingan benar.

“Apa apa itu wujud Infrastructure Development & Financial Inclusion, bahkan pula siapa saja yang mesti memahami terlebih dahulu apa itu Infrastructure Development & Financial Inclusion?”.

“Memahami Bagaimana proses, mekanisme, dinamika hulu hilirnya Infrastructure Development & Financial Inclusion?”

“Memahami mengapa perlu Infrastructure Development & Financial Inclusion, nilai manfaatnya apa dan utamanya untuk siapa saja ?”.

Konsep human adalah Suprastruktur yang melandasi faktor pengembangan Infrastruktur

Secara filosofis, jika kita mengkritisi logika Karl Marx yang mengatakan bahwa perubahan tatanan sosial adalah ditentukan oleh infrastruktur. Prasarana sumberdaya pembangunan yang physicly, sensous menjadi penentu faktor produksi (= kita baca sebagai; pertumbuhan, pembangunan) sedangkan suprastruktur (anasir anasir intangible, non materiil, non sensous) dinyatakannya sebagai outcome atas proses produksi.

Ini berarti Marx menafikan pandangannya sendiri tentang dialektika materialisme yang sifatnya sirkular. Disamping pula ia mengingkari filosofi pemahaman tentang metafisika yang mengenal nilai nilai ethic maupun nilai transcendental. Runyamnya pula ajaran ekonomi konvensional, juga terkandung cacat bawaan seperti yang dikembangkan Marx, dan sampai kini masih banyak pihak tidak menyadari urgensinya suprastruktur yang sebenarnya justru menjadi prime factors atas sesuatu infrastruktur.

Bahwa sosok yang kita sebut aturan aturan, norma, tata pengelolaan, way of thinking, paradigma pembangunan, ideologi, conscience adalah anasir suprastruktur yang menurut ekonomi kelembagaan menjadi tulang punggung (backbone) yang membangun economi activity lebih efisien dan lebih efektif (sebagai catatan penting; bukankah kegiatan ekonomi itu esensinya adalah kegiatan yang efisien & efektif).

Bukti kuat atas kebenaran betapa urgennya “suprastruktur” dapat ditunjukkan tentang bagaimana pesatnya kemajuan pembangunan Negeri Korea Selatan dan Negara Jepang. Kemajuan kedua bangsa ini adalah buah dari ethos kerja dalam mengentaskan diri dari kemiskinan oleh bangsa Korea (Selatan), dan juga bangsa Jepang (dengan semangat Bushidonya, dengan konsep Kaizennya). Demikian keberhasilan Grameen Bank (didirikan tahun 1983) diperuntukkan bagi wanita wanita keluarga miskin di Bangladesh dalam yang dipelopori oleh Muhammad Yunus, sehingga kini debiturnya lebih dari sembilan juta kaum perempuan, yang pada umumnya telah memiliki usaha mandiri dan mendapatkan hadiah nobel perdamaian pada tahun 2006.

Maksud paparan ini adalah ingin meyakinkan bahwa ketika bangsa Indonesia, kuhususnya ummat muslim ketika hendak mengentaskan kemiskinan, tidak cukup semata mata dengan membangun infrastruktur, namun juga menyertakan pengembangan serta aktualisasi penguatan suprastruktur, melalui pendekatan ekonomi kelembagaan, dengan paradigma non positivistic, perspektif emic.

Pendekatan ekonomi kelembagaan, akan menempatkan sesuatu sosok otoritas pelaku ekonomi infrastruktur sebagai entitas secara sosial bukan secara individual eksklusif yang steril apalagi matematis. Sehingga konstruksi konsep yang dikembangkan adalah mengakomodir adanya keterpengaruhan lingkungan sekitarnya.

Mengingat bahwa ketika sesuatu konsep pengembangan infrastruktur menggunakan pendekatan ekonomi konvensional, Neoklasik, maka sebuah investasi infrastruktur akan dibaca sebagai sesuatu unit ekonomi yang steril independen, kegiatan subject infrastruktur ekonomi (masyarakat) dianggap tidak berhubungan dengan faktor lain.

Faktor kapasitas aparatur dan jangkauan pelayanan publik, sebagai salah satu wujud suprastruktur, misalnya; akan diabaikan interrelasi dan interaksinya.

Pendekatan pembangunan selama ini, selalu memegang asumsi bahwa pelaku ekonomi mempunyai seperangkat pilihan dan preferensi yang selalu tersedia dan bersifat stabil. Keputusan dan tindakan ekonomi diasumsikan selalu rasional, yaitu berupaya memaksimumkan manfaat/ kepuasan dan   keuntungan.

Akan tetapi ketika dihadapkan pada realita di dunia nyata, sebenarnya kegiatan ekonomi/ pembangunan [ misal; di desa desa, ternyata banyak yang bersifat tradisional], dan spekulatif-rasional. Kelembagaan setempat dan partisipasi masyarakat desa misalnya, acapkali direduksi dalam mempertimbangkan investasi infrastruktur karena susah diukur. Perspektif non kelembagaan hanya mengarah pada maksimisasi kepuasan dan keuntungan; sehingga agar indikator dan karakter ekonomi itu mudah dikenali, mudah dianalisa, mudah disimpulkan. Sementara karakteristik yang substantif bagi pembangunan namun susah dikenali atau sulit dianalisis direduksi agar lebih sederhana. Semacam halnya mereduksi kelangkaan sumber daya alam, sumberdaya insani, kearifan lokal dan termasuk teknologi.

Eksekusi yang mensederhanakan masalah, akan berakibat mengganggu efektivitas dan efisiensi kalau tak bisa disebut sebagai kegagalan infrastruktur yang dibangun.

Selayaknya para pemegang otoritas kebijakan pembangunan infrastruktur itu perlu menyikapi bahwa rasionalitas itu adalah variabel, berubah ubah, dinamis tidak konstan yang mengandung makna tertentu, sehingga perlu dikonstruksi secara historis, diungkap secara empiris.

Selain daripada itu, pendekatan non kelembagaan dalam mewujudkan infrastruktur tidak siap mengenali adanya konsep kekuasaan. Ekonomi konvensional, non kelembagaan, mengartikan transaksi, berlangsungnya pasar, negosiasi, komunikasi, itu adalah terjadi diantara pelaku yang sederajat; sedangkan pada realitas konkrit bahwa dalam dunia nyata ekonomi itu sebenarnya terdapat ruang bekerjanya sesuatu kekuasaan; pengembangan infrastruktur ekonomi perlu mengakomodir, mensinergikan keberadaan kekuasaan yang dapat menjadi pengendali pengambilan keputusan [verfuegungsgewalt].

Fenomena semacam ini tentunya dapat ditunjukkan adanya tokoh formal atau non formal yang memiliki –kuasa- tertentu atas sesuatu wilayah tertentu, atas sesuatu domain tertentu, atas sesuatu kepentingan tertentu, misal; kepala daerah, tokoh politik, terkemuka masyarakat, pemuka agama dan adat di pedesaan yang dapat berperan mempermudah, atau sebaliknya dapat menghambat atau pula membatasi kegiatan pembangunan ekonomi ( misalnya; di pedesaan).

Kegiatan ekonomi itu juga terdapat peranan-peranan kolektif dan kolektivitas, dengan nilai-nilai tertentu kegiatan ekonomi dilegitimasi, dan dengan norma-norma dan sanksi-sanksi tertentu dalam kegiatan ekonomi yang diatur. Dalam pembangunan ekonomi, pada prakteknya terdapat sistem status, hubungan-hubungan kekuasaan dan wewenang, penyimpangan, klik-klik, dan koalisi-koalisi yang mempengaruhi, demikian pula misalnya konflik apa yang terjadi.

Penutup

Mengentas kemiskinan yang islami, yang syari tentu ada rukunnya, kiranya kalau berhenti pada infrastruktur an sich maka belum cukup. Rukun memanusiakan manusia dalam pembangunan ekonomi mesti memperhatikan interrelationship antara sumberdaya ekonomi dengan manusia dan masyarakatnya itu sendiri, yang secara sederhana dalam konteks ini adalah antara infrastruktur dengan suprastruktur. Infrastruktur sebagai bagian dari pembangunan ekonomi perlu dibaca keterkaitannya dengan modus transaksi, struktur pasar, dan proses ekonomi yang dipahami masyarakat sebagai subject. Masyarakat setempat tidak bisa dianggap sebagai “sesuatu yang berada diluar model”, dipandang sebagai sesuatu yang telah ada dan bersifat given.

Pesan moralnya, Pemerintah diharapkan mau dan mampu menangkap consciences masyarakat, merekayasa dan merekadaya suprastrukturnya untuk semakin mendekatkan antara object (fenomena Infrastructure Development & Financial Inclusion) dengan subject pembangunan (masyarakat/ummat Islam) dan dengan kuasa pengguna anggaran (pemerintah /daerah).

Last but not least, merujuk thema seminar ini, kiranya kita yang berkepentingan dapat menjadi tuan rumah sidang tahunan IBD 2016 yang berhasil; maka intisari paper ini menyarankan ada kemauan kuat, komitment kuat untuk merubah paradigma lama yang positivistic, kearah paradigma non positivistic, dengan pendekatan ekonomi kelembagaan yang dimanivestasikan dengan mengkedepankan pengembangan keperan sertaan sumberdaya insani, memberdayakan indogenous factors, to rising up potential internal human resourcesto be actual.

Sekian, semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

Asian Development Bank. 2015. Menuju Terwujudnya Potensi Pertumbuhan Indonesia. Ringkasan. @ADBIndonesia.

Akerlof, George A. 1984. An Economic Theorist’s Book of Tales: Essay that Entertain the Consequenses of New Assumption in Economic Theory. Cambridge: University Press.

Bambang Suprayitno, dkk. 2014. Produktifkah Human Capital Investment oleh Pemerintah Daerah ?: Fakta Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Seminar Nasional dan Sidang Pleno ISEI XVII “Pembaharuan Institusi Ekonomi & Mutu Modal Manusia” Ternate, 3 – 5 September 2014

Bogdan, Robert C. 1972. Social sciences; Participant observation; Research. New York: Syracuse University Press.

Capra, Fritjof. 2001. Writing History, Writing Trauma. Baltimore dan London: Johns Hopkins University Press.

____________. 2002. The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Jalasutra: Yogyakarta.

Carley, Kathleen. 1991, “A Theory of Group Stability.” American Sociological Review , 56(3): 331-354.

Chapra, M. Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta. Gema Insani.Coleman, James S. 2008. Dasar-Dasar Teori Sosial: Referensi bagi Reformasi, Restorasi dan Revolusi. Terj. Iman Muttaqien, Derta Sri Widowatie, Siwi Purwandari. Bandung: Nusa Media.

Diesing, Paul. 1971. Patterns of Discovery in the Social Sciences. Chicago: Aldine-Atherton, Inc.

Etzioni, Amitai. 1988. The Moral Dimension Toward A New Economics. New York: The Free Press.

Etzioni, Amitai dan Lawrence, Paul R. 1991. Social Economics: Toward A New Synthesis. New York: M.E. Sharpe.

François Lyotard, Jean. 2009. Kondisi Postmodern; Suatu Laporan mengenai Pengetahuan. [trjm. Dian Vita Ellyati]. Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.

Granovetter, Mark & Swedberg, Richard. 1992. The Sociology of Economic Life. Westview Press. Boulder.San Fracisco: Oxfort.

Heriyanto, Husain. 2004. Dari Visi menuju Aksi Perubahan. Dalam The Hidden Connections. Terj. Heriyanto, H. Jalasutra. Yogyakarta.

Hudianto.2004. Ekonomi Politik. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Kasper, Wolfgang and Manfred E. Streit. 1998. Institutional Economics. Social Order and Public Policy. Edward Elgar Publishing, Inc. Northampton Massachusetts. USA.

Kincaid, 1998. Empiricism, rationalism and positivism in library and information science. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited.

Kuhn, Thomas. 2008. The Structure of Scientific Revolutions. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Terj. Tjun Suryaman. Bandung. Pt Remaja Rosdakarya.

Leksono. S. 2008. Runtuhnya Modal Sosial, Pasar Tradisional. Malang: CV Citra Malang.

___________. 2013. Penelitian Kualitatif Ilmu Ekonomi. Dari Metodologi ke Metode. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Comuunication. 7th edition. Belmont, USA: Thomson Learning Academic Resource Center.

Myrdal,G. 1976. Arti Dan Keabsahan Ilmu Ekonomi Institusional Dalam Ilmu Ekonomi di Masa Depan menuju paradigma baru. Cetakan pertama, Juni 1983. Diterjemahkan oleh Goenawan Moehammad. Terjemahan Indonesia pada LP3ES, Percetakan Grafitas.

Prosiding. 2011. Menjadi Tuan di Negeri Sendiri: Problem dan Prospek bagi Bangsa Indonesia. Pontianak:Untan Press

Ritzer, George. 2005. Encyclopedia of Social Theory. Newbury Park, CA: Sage Publications, Inc.

____________. 2007. The Globalization of Nothing, 2nd Edition. SAGE Publications, Inc. Thousand Oaks.

____________. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Cetakan ke-8. Jakarta: Rajawali Press.

Sairin, Sjafri., Semedi, Pujo., dan Hudayana, Bambang. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. (cet.1). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Sen, Amartya. 1987. On Ethics and Economics, Oxford, Basil Blackwell.

Schumpeter, J.A. (1912) 1934. The Theory of Economic Development: An inquiry into profits, capital, credit, interest and the business cycle. New Jersey: Transaction Publisher.

_______________. 1954. History of Economic Analysis. Oxford University Press.

Smelser. J., 1987. Sosiologi Ekonomi. Cetakan Pertama. Penerbit Bahana Aksa.

Sukidin. 2009. Sosiologi Ekonomi. Jember: CENTER for SOCIETY STUDIES (CSS).

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

The World Bank. 2015. Maju perlahan. Indonesia Economic Quarterly. Juli 2015.

van Zanden, Jan Luiten. Daan Marks. Ekonomi Indonesia 1800-2010. 2012. Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta. Penerbit Buku KOMPAS.

Williamson, Oliver E. 1975. Markets Hierarchies: Analisis and Antitrust Implications: A Study in the Economics of Internal Organization. Berkeley:University of California.

Weber, Max. 1964. The Theory of Social and Economic Organization. Talcott Parsons (Ed.). New York: The Free Press.

Weber, Max. (1922) 1978. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkley, CA: U. California Press.

[1] / Menurut Karl Mark, wujud non material ini dikonsepkannya sebagai “suprastruktur”. Menurut Muhajir (2004), wujud non material itu diantaranya meliputi logika pikiran, etika (tata nilai & norma) dan keyakinan (spiritual) yang sifatnya etic normative dan transcendent.

Loading